Friday, April 17, 2009
Mendidik "Technopreneur"
Oleh Ninok Leksono
Misalkan saja Anda berusia 20-an tahun dan mengawali perusahaan
internet pertama Anda. Lalu katakan 21 bulan kemudian Anda menjualnya
seharga 1,65 miliar dollar AS. Apa yang terjadi berikutnya? ("Time",
'Persons of the Year', 2006-2007)
Kutipan di atas dari majalah Time tatkala mengisahkan situs YouTube
yang fenomenal dan pendirinya, Steve Chen, Chad Hurley, dan Jawed
Karim. Diperlihatkan pula bagaimana ketiga pemuda itu merancang konsep
awal YouTube di garasi Chad. YouTube kemudian sukses besar pada tahun
2006. Alasannya banyak, tetapi satu yang bisa disebut khusus adalah
karena ia unggul, tapi juga mudah, satu kombinasi yang langka. Anda
bisa menonton video di situs tersebut tanpa perlu mengunduh perangkat
lunak apa pun atau bahkan mendaftar. Di Amerika, YouTube untuk
menonton video diibaratkan sama dengan Wal-Mart Supercenter untuk
belanja. Semua ada di sana dan Anda tinggal masuk saja.
Ketika akhir tahun silam YouTube digelontor dengan 65.000 video baru
setiap harinya, jumlah video yang bisa ditonton pun menggelembung,
dari 10 juta per hari pada tahun sebelumnya, menjadi 100 juta.
Selain memperlihatkan bagaimana multiplikasi informasi terjadi,
fenomena tersebut juga membuat dunia menoleh kepada sosok-sosok
pendiri perusahaan. Lalu tampaklah bagaimana sosok Chad Meredith
Hurley yang berdarah seni ternyata juga punya minat besar terhadap
bisnis dan teknologi. Bagaimana keberhasilannya di PayPal
mempertemukan dirinya dengan Steve Chen dan Jawed Karim, dua insinyur
di PayPal, yang kemudian bersepakat dengan dirinya untuk mendirikan
perusahaan baru (start-up). Dalam perkembangan kemudian, memang ada
ketegangan dalam hubungan Karim (27) dengan kedua pendiri YouTube
lainnya. Ini membuat sejarah perusahaan itu lalu ikut disederhanakan,
dengan hanya disebutkan, ide pendirian YouTube muncul tahun 2005 saat
Chad dan Steve kesulitan berbagi video yang mereka ambil secara online
saat santap malam di apartemen Steve.
Apa pun yang terjadi di antara ketiga orang muda yang terkait dengan
YouTube di atas, yang jelas YouTube berkembang menjadi perusahaan
sukses yang kemudian dibeli raksasa Google, Oktober 2006 dengan nilai
1,65 miliar dollar AS.
Semestinya sukses YouTube, sebagaimana sukses Apple, Amazon, dan
deretan start-up lainnya mengilhami orang muda tidak saja di Amerika,
tetapi juga di belahan dunia lainnya. Namun, agar lingkungan menjadi
kondusif bagi munculnya apa yang dikenal sebagai wirausahawan
teknologi atau technopreneur ini rupanya dibutuhkan sejumlah syarat.
Ketika memberi kuliah perdana di Universitas Media Nusantara (UMN) di
Jakarta, 3 September lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad
Nuh menyebut salah satunya, yakni masa kritis. Menurut Menteri, di
Indonesia memang sudah ada banyak ahli ICT (teknologi informasi dan
komunikasi/TIK), tetapi jumlah itu dirasa belum mampu menimbulkan efek
yang terasakan.
Menteri Nuh mengibaratkan kondisi yang ada sekarang sebagai mobil di
tanjakan, tidak merosot tetapi juga tidak bisa naik.
Dari segi masa kritis, jumlah SDM TIK harus ditambah, dalam hal ini
melalui pendidikan. Dalam kondisi kesenjangan digital yang sudah akut
dewasa ini antara negara maju dan negara berkembang, jumlah lulusan
memang harus dipacu. Para lulusan juga harus bisa menjadi orang yang
mampu memengaruhi agar semakin banyak warga masyarakat yang melek TIK
dan bisa memanfaatkannya.
Pendidikan kewirausahaan
Pada kesempatan yang sama, pendiri UMN Dr (HC) Jakob Oetama kembali
mengulangi pentingnya pendidikan sebagaimana terkandung dalam semangat
culture matters yang akhir-akhir ini sering ia kemukakan. Menurut
hasil seminar Harvard yang kemudian dibukukan hasilnya, dan disunting
oleh Lawrence Harrison dan Samuel Huntington (2000), nilai budaya
berperan penting bagi kemajuan bangsa. Bangsa Korea (Selatan)
berkembang maju dibandingkan dengan Ghana meski keduanya berada dalam
kondisi serupa pada tahun 1960. Dalam pengantar buku, Huntington
menyebutkan, di Korea berkembang nilai-nilai budaya yang membuatnya
tumbuh maju dan di antara nilai-nilai tersebut adalah pendidikan,
selain disiplin, menghargai waktu, dan berorientasi kepada kemajuan.
Seperti disampaikan Menteri Nuh, pemerintah pun berkepentingan agar
pendidikan maju, masyarakat Indonesia maju. Ini antara lain coba
dilakukan dengan membangun dan meluaskan jaringan komunikasi dengan
Palapa Ring, yang tahun 2008 coba diwujudkan untuk wilayah Indonesia
timur. Melalui program Universal Service Obligation (USO), pemerintah
juga akan memperluas akses telekomunikasi bagi desa-desa di Indonesia
yang berjumlah 72.000, tetapi 38.000 di antaranya masih merupakan
blank spot.
Setelah ide disosialisasikan, prasarana dibangun, pendidikan
diselenggarakan, lalu bagaimana dengan munculnya technopreneur? Ini
tentu persoalan lain.
Pembicara lain pada kuliah perdana UMN, Indra Sosrojoyo, menyampaikan
peluang yang terbuka dalam industri TIK yang dapat dipilih mahasiswa.
Ia juga dengan tepat mengawali kuliah dengan bertanya, siapa yang
ingin menjadi technopreneur. Dalam jawaban pertama, mahasiswa yang
mengangkat tangan 25 persen, tetapi meningkat jadi sekitar 40 persen
saat ia mengulangi pertanyaannya.
Pekan silam, ketika menulis tentang Iskandar Alisjahbana, kolom ini
juga menyinggung pentingnya jiwa entrepreneurship. Dalam hal ini,
perguruan tinggi tidak cukup hanya menjadi penghasil gelar ningrat
akademis. Ia harus berhenti sebagai menara gading dan membuka peluang
bagi civitas academica-nya untuk menumbuhkan inkubator, seperti yang
dipercontohkan oleh MIT dan Stanford University di AS. Memang, tidak
sedikit tentangan yang muncul menanggapi gagasan ini, dari tahun
1970-an hingga hari ini. Namun, tampaknya, ada urgensi aktual bagi
pendekatan baru untuk lulusan universitas saat ekonomi masih lesu dan
lapangan kerja langka dewasa ini.
Dalam konteks culture matters yang diangkat oleh Jakob Oetama, melalui
praktik kewirausahaan dapat dikembangkan nilai-nilai budaya yang
dibutuhkan untuk mencapai kemajuan, seperti disiplin, ulet, dan
menghargai waktu.
Tepat pernyataan Menteri Nuh bahwa memiliki visi kemajuan penting.
Namun, yang lebih penting lagi adalah menjawab tantangan yang ada di
depan mata sekarang ini.
Sumber :
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/05/utama/3814398.htm
19 April 2009
Sumber Gambar:
http://www.crestock.com/images/530000-539999/536630-xs.jpg
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment