Saturday, April 18, 2009

Pendidikan TI Berbasis Technopreneurship


Oleh : Tata Sutabri

Teknologi komunikasi dan informasi atau teknologi telematika (information and communication technology–ICT) telah diakui dunia sebagai salah satu sarana dan prasarana utama untuk mengatasi masalah-masalah dunia. Teknologi telematika dikenal sebagai konvergensi dari teknologi komunikasi (communication), pengolahan (computing) dan informasi (information) yang diseminasikan mempergunakan sarana multimedia.

Technopreneurship adalah sebuah inkubator bisnis berbasis teknologi, yang memiliki wawasan untuk menumbuh-kembangkan jiwa kewirausahaan di kalangan generasi muda, khususnya mahasiswa sebagai peserta didik dan merupakan salah satu strategi terobosan baru untuk mensiasati masalah pengangguran intelektual yang semakin meningkat ( +/- 45 Juta orang). Dengan menjadi seorang usahawan terdidik, generasi muda, khususnya mahasiswa akan berperan sebagai salah satu motor penggerak perekonomian melalui penciptaan lapangan-lapangan kerja baru. Semoga dengan munculnya generasi technopreneurship dapat memberikan solusi atas permasalahan jumlah pengangguran intelektual yang ada saat ini. Selain itu juga bisa menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global.

Disisi lain bahwa kurikulum Pendidikan TI berbasis Technopreneurship yang diberikan di perguruan tinggi memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Memberikan kontribusi kongkret dalam mensiasati masalah pengangguran intelektual di Indonesia.
2. Mengembangkan spirit kewirausahaan di dunia perguruan tinggi.
3. Meminimalisir gap antara pemahaman teori dan realita praktek dalam pengelolaan bisnis.

Manfaat bagi mahasiswa dalam proses implementasi Technopreneurship Based Curicullum adalah sebagai berikut :
1. Memperoleh pencerahan mengenai alternatif profesi sebagai wirausaha selain sebagai ekonom, manajer atau akuntan atau profesi lainnya.
2. Memiliki skill-based yang memadai dalam bidang Teknologi Informasi
3. Mendapatkan pengetahuan dasar dalam bentuk teori maupun praktek magang dalam mengelola suatu bisnis.
4. Memperoleh akses untuk membangun networking dunia bisnis.

Sedangkan bagi Perguruan Tinggi sebagai fasilitator adalah :
1. Menjadi bentuk tanggung jawab sosial sebagai lembaga pendidikan untuk berkontribusi dalam mengatasi masalah pengangguran.
2. Menjadi bagian penting dalam upaya menjembatani gap kurikulum pendidikan antara lembaga pendidikan dan industri pengguna.
3. Menjadi salah satu strategi efektif untuk meningkatkan mutu lulusan.
4. Menjadi wahana interaksi untuk komunitas Perguruan Tinggi yang terdiri dari alumni, mahasiswa, dosen, dan karyawan dengan masyarakat umum.

Berdasarkan tujuan tersebut di atas, maka Program Pengembangan Budaya Technopreneurship atau kewirausahaan di Perguruan Tinggi dirancang meliputi 6 (enam) kegiatan yang saling terkait, yaitu:
1. Pelatihan materi ”Techno SKILL BASED”
2. Magang Kewirausahaan
3. Kuliah Kewirausahaan
4. Kuliah Kerja Usaha
5. Karya Alternatif Mahasiswa
6. Konsultasi Bisnis dan Peluang usaha

Secara teknis, implementasi pendidikan TI berbasis TECHNOPRENEURSHIP ini, sama saja seperti perkuliahan pada umumnya, hanya saja pada 2 semester pertama secara intensif para mahasiswa diberikan pelatihan (training) sebagai pondasi awal berupa penguasaan bahasa pemrograman (VB.Net/C#/Java) atau disain grafis 3D, WEB, dan ini disesuaikan dengan kebutuhan dunia industri TI saat itu.

Proses pelatihan diberikan bersamaan dengan perkuliahan reguler, sehingga mereka mendapat pembinaan secara intensif & fokus untuk mempersiapkan SKILL Based mereka. Pada saat mereka menginjak semester 3, mereka melakukan proses pemagangan di perusahaan/industri TI, setelah itu diharapkan para mahasiswa sudah bisa bekerja secara part time di beberapa perusahaan, sehingga ketika mereka telah menyelesaikan studinya, mereka memiliki asset berupa knowledge & experince yang cukup untuk menjadi Technopreneur, atau alternatif lainnya mereka tetap bisa bersaing secara kompetitif untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dengan bekal IPTEK yang mereka telah kuasai.

Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi akademis & kesehatan jiwa bagi anak bangsa, semoga munculnya generasi technopreneurship dapat memberikan solusi atas permasalahan jumlah pengangguran intelektual yang ada saat ini. Selain itu juga bisa menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal di tengah kompetisi global. Mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan juga Bangsa Indonesia.

________________________________________
Tata Sutabri – STMIK INTI INDONESIA (www.inti.ac.id)
TECHNOPRENEURSHIP BASED TELEMATIKA EDUCATION

Sumber :

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&jd=Pendidikan+TI+Berbasis+Technopreneurship&dn=20070913144517
19 April 2009

Sumber Gambar :
http://www.becs.ac.in/images/it.jpg

Orang Terkaya AS dan EBP


Oleh Ninok Leksono

"Aset paling berharga bagi perusahaan pada abad ke-21 adalah
pengetahuan dan pekerja terdidik. Pengetahuan telah menjadi modal bagi
pembangunan ekonomi, menggantikan sumber daya alam yang tidak dapat
menjadi andalan lantaran dapat terdepresiasi, bahkan memunculkan
perusakan lingkungan yang ujungnya merugikan umat manusia". (Peter
Drucker, Management Challenges for the 21st Century)

Pekan silam terbit daftar orang terkaya Amerika versi majalah Forbes.
Yang menarik, urutan teratas masih—untuk ke-14 tahun
berturut-turut—ditempati pendiri Microsoft Corp Bill Gates, dengan
harta sekitar 59 miliar dollar AS (sekitar Rp 560 triliun). Pada
urutan ke-4 ada Larry Ellison, pendiri dan CEO Oracle, dengan kekayaan
26 miliar dollar AS.

Perubahan terjadi pada daftar 10 orang terkaya. Untuk pertama kalinya
tahun ini masuk dua pendiri perusahaan Google Inc, yakni Sergey Brin
dan Larry Page, di urutan ke-5. Kekayaan kedua mogul berusia 34 tahun
ini membesar empat kali sejak tahun 2004 dan tahun ini menjadi sekitar
18,5 miliar dollar AS. Nilai saham perusahaan mereka meningkat 500 persen.

Nama-nama lain dalam daftar Forbes tersebut berasal dari kalangan
investor, sementara urutan kedua diduduki oleh mogul kasino. Di luar
itu, harga minyak yang membubung juga membantu meningkatkan kekayaan
juragan (baron) minyak bersaudara, Charles dan David Koch, yang tahun
ini menempati urutan ke-9 dengan kekayaan 17 miliar dollar AS.

Mengamati daftar di atas, satu hal yang menggelitik adalah tampilnya
sosok-sosok yang berusaha di bidang teknologi informasi (TI), dalam
hal ini Microsoft, Oracle, dan Google. Tampaknya, tampilnya
orang-orang tersebut menggantikan citra lama bahwa yang bisa menjadi
orang terkaya adalah mereka yang berusaha di sektor pertambangan,
otomotif, atau usaha konvensional lain.

Dari satu sisi, ini seperti menyiratkan atau membenarkan penilaian
bahwa peluang ekonomi, atau perekonomian itu sendiri, telah berubah,
yaitu dari ekonomi berbasis sumber daya (resource-based economy) ke
ekonomi berbasis pengetahuan (EBP) atau knowledge-based economy.

Seperti disitir oleh Peter Drucker di atas, sumber daya (alam) tidak
dapat diandalkan karena dapat terdepresiasi. Pada sisi lain, ilmu
pengetahuan justru terus berkembang.

Kekuatan "knowledge"

Seperti diuraikan Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Prof Zuhal
dalam bukunya (mengenai daya saing, yang segera terbit), selama
sejarah umat manusia sumber daya alam, seperti tanah, mineral, minyak
bumi, dan hutan, merupakan modal kesuksesan banyak bangsa, tetapi kini
sumber daya alam bukan faktor utama lagi.

"Orang kini telah menemukan kekuatan baru yang nonfisik dan selalu
terbarukan, itulah yang disebut knowledge atau ilmu pengetahuan,"
tulisnya.

Bill Gates jelas contoh yang paling spektakuler. Ia bukan tuan tanah,
bukan pemilik tambang minyak, atau emas, bukan industrialis, dan bukan
diktator yang memiliki tentara yang sangat kuat. Untuk pertama kalinya
dalam sejarah umat manusia, didapati bahwa manusia terkaya di dunia
bermodalkan knowledge, dalam hal ini adalah pengetahuan tentang komputasi.

Ditambahkan bahwa nilai semua logam emas yang pernah ditambang dalam
sejarah umat manusia, dari zaman sebelum Mesir kuno sampai penambangan
modern, seperti di Freeport, termasuk berbagai cadangan negara,
seperti cadangan Amerika Serikat di Fort Knox, bernilai hanya kurang
dari nilai enam perusahaan komputer/TI, yakni Microsoft, Intel, IBM,
Cisco, Lucent, dan Dell. Jadi, nilai perusahaan TI di atas sungguh
besar dan pasti jauh lebih besar lagi kalau Google dan Oracle dimasukkan.

Dalam kolom iptek ini, 5 September silam, telah diulas pentingnya
peran technopreneur, yakni wirausaha bidang teknologi, dalam merespons
perkembangan zaman. Selain menelurkan tenaga-tenaga TI yang kapabel,
pendidikan itu sendiri diharapkan bisa mengembangkan jiwa kewirausahaan.

Dalam soal terakhir itu, riwayat hidup tokoh seperti Bill Gates, juga
orang-orang terkaya dari bidang TI di atas, bisa disimak. Bill Gates
seharusnya bangga karena tahun 1973 ia diterima di Universitas Harvard
yang amat bergengsi. Namun, pada tahun awal ia sudah men-DO-kan diri
karena ingin mencurahkan segenap tenaga dan pemikirannya untuk
Microsoft, perusahaan yang didirikan tahun 1975 dengan teman semasa
masih remaja, Paul Allen. Mereka seperti mendapat "wangsit" dan itu
lalu menjadi keyakinannya bahwa PC akan menjadi alat yang sangat
berguna di setiap kantor dan di setiap rumah sehingga mereka lalu
terpanggil untuk membuat program untuk PC.

Di sinilah tampak betapa kecerdasan Gates mampu melihat apa yang akan
terjadi pada masa depan dan menangkap apa yang akan dibutuhkan. Lebih
dari itu, ia memberanikan diri memenuhi panggilan hidup untuk membela
visi yang diyakini tersebut dengan mendirikan perusahaan.

Hal yang sama juga diperlihatkan orang terkaya lain, Larry Ellison. Ia
mendirikan Oracle tahun 1977 dengan mengerahkan semua uang 2.000
dollar AS miliknya. Riwayatnya juga tidak seluruhnya bulan purnama
karena tahun 1990 Oracle dilanda krisis dan nyaris bangkrut. Di luar
itu, Oracle survive dan kini banyak disebut sebagai perusahaan pembuat
perangkat lunak nomor dua di dunia.

Merespons zaman baru

Menanggapi zaman (ekonomi) baru ini, Indonesia tentu saja harus
merespons kalau tak mau semakin tertinggal. Menteri Komunikasi dan
Informatika (Menkominfo) Mohammad Nuh sempat menyebut perlunya dicapai
massa kritis agar TI memberi manfaat berarti bagi pertumbuhan
Indonesia. Maksud Menkominfo adalah tentu tidak saja pengetahuan TI
semakin merasuk dalam sendi kehidupan bangsa, tetapi juga berarti
karena tenaga TI yang mencapai massa kritis akan lebih mudah
menggerakkan semangat kewirausahaan.

Dalam kaitan EBP, sebenarnya bidang yang terbuka tidak semata TI
karena elemen fundamental di sini adalah pada aspek daya saing, yang
muncul karena adanya keunggulan kompetitif, bukan lagi keunggulan
komparatif.

EBP—yang mulai sering disebut-sebut di sini pada awal
1990-an—menyiratkan bahwa negara tidak dapat bersandar pada ekonomi
semata, tetapi juga pada semua aktivitas kehidupan warganya dalam
proses penciptaan, pemanfaatan, dan pendistribusian pengetahuan.
Penerapan EBP dimaksudkan untuk memacu daya saing, produktivitas, dan
pertumbuhan dengan pendekatan baru, melalui pendidikan, inovasi,
pemanfaatan TI, meluaskan jejaring kerja sama, dan—yang tidak kalah
pentingnya menurut Prof Zuhal—adalah melalui pemberian peranan baru
yang berbeda kepada pemerintah.

Sejumlah negara, seperti Norwegia (yang kini terkenal dengan salmon
dan ekspor migasnya) dan juga Finlandia (dengan industri telepon
selulernya) adalah contoh sukses melalui penerapan EBP. Indonesia
dalam hal ini pun perlu menetapkan langkah, kalaupun bukan untuk
menciptakan "orang terkaya", untuk memperbaiki perikehidupan rakyat
pada umumnya.

Sumber :
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/26/utama/3868149.htm
19 April 2009

Sumber Gambar :
http://www.kimbrooke.com/graphics/bill-gates-impersonator.jpg

Friday, April 17, 2009

TECHNOPRENEURSHIP : Inkubator Bisnis Berbasis Teknologi


Perubahan demi perubahan yang terjadi dari suatu zaman ke zaman berikutnya telah mengantarkan manusia memasuki era digital, suatu era yang seringkali menimbulkan pertanyaan : apakah kita masih hidup di masa kini atau telah hidup di masa datang. Pertanyaan ini timbul karena hampir segala sesuatu yang semula tidak terbayangkan akan terjadi pada saat ini, secara tiba-tiba muncul di hadapan kita. Masa depan seolah-olah dapat ditarik lebih cepat keberadaannya dari waktu yang semestinya, berkat kemajuan teknologi informasi.

Teknologi komunikasi dan informasi atau teknologi telematika (information and communication technology –ICT) telah diakui dunia sebagai salah satu sarana dan prasarana utama untuk mengatasi masalah-masalah dunia. Teknologi telematika dikenal sebagai konvergensi dari teknologi komunikasi (communication), pengolahan (computing) dan informasi (information) yang diseminasikan mempergunakan sarana multimedia. Masalah di Indonesia yang paling utama adalah bagaimana memecahkan masalah kesenjangan digital yang masih sangat besar dengan menumbuh-kembangkan inovasi atau teknopreneur industri telematika. Technopreneurship atau wirausaha teknologi merupakan proses dan pembentukan usaha baru yang melibatkan teknologi sebagai basisnya, dengan harapan bahwa penciptaan strategi dan inovasi yang tepat kelak bisa menempatkan teknologi sebagai salah satu faktor untuk pengembangan ekonomi nasional.

Pengusaha bidang teknologi (Technopreneur), khususnya teknologi informasi (TI) membutuhkan adanya kebebasan dalam berinovasi, tanpa harus terkekang oleh regulasi yang malah menghambat. Semakin pemerintah mengendurkan ketatnya regulasi yang mengatur gerakan grass root komunitas TI di Indonesia, maka akan memberikan dampak positif berupa tumbuhnya TI itu sendiri dan juga aspek bisnisnya. Hal ini sangat penting karena dilandasi pengalaman di lapangan, di mana seringkali terjadi benturan antara kepentingan badan usaha sebagai unit bisnis yang menuntut untuk selalu bersikap dan berperilaku sebagai wirausahawan dan melakukan perubahan-perubahan, menyesuaikan antara fakta yang ada dengan tuntutan perubahan serta memperbesar usaha, tetapi di sisi lain ada kepentingan-kepentingan Pemerintah yang mungkin saja berlawanan dengan kepentingan sebagai suatu unit bisnis. Padahal dalam technopreneurship diperlukan semangat kompetisi yang dominan, agar tidak tertinggal dari turbulensi bisnis global.

Dalam kurun waktu yang panjang, ilmu pengetahuan ditempatkan pada “kotak” tersendiri secara eksklusif, seolah-olah diasingkan dari kegiatan ekonomi. Dunia ilmu pengetahuan atau kita sebut dengan pendidikan, dianggap bukan menjadi bagian dari suatu sistem ekonomi. Dunia pendidikan dipandang sebagai suatu dunia tersendiri tempat dibangunnya nilai-nilai luhur, sementara dunia ekonomi dipandang sebagai dunia yang penuh dengan kecurangan, ketidakadilan, bahkan seolah dunia tanpai nilai (value). Cara pandang yang dikotomis tersebut, dalam kurun waktu yang lama belum dapat terjembatani secara baik. Masing-masing pihak lebih mementingkan dan meng claim sebagai pihak yang paling benar.

Yang perlu kita ketahui adalah bahwa dalam era ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan, pendidikan merupakan wujud dari keberhasilan pembangunan nasional suatu negara. Bahkan pendidikan dapat menjadi keunggulan daya saing suatu negara. Dengan kata lain, pendidikan memegang peran strategis dalam memajukan ekonomi bangsa. Dan hal ini telah dibuktikan oleh negara-negara industri baru seperti Singapore, Taiwan dan Malaysia, di mana dengan membangun sarana dan prasarana pendidikan secara serius dalam sepuluh tahun terakhir, kualitas kehidupan bangsa-bangsa tersebut terus meningkat.

Bagaimana dengan Indonesia ?. Selama berpuluh tahun, pendidikan dijadikan alat politik penguasa, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Akibatnya pendidikan berjalan lamban (too slow), sehingga tidak dapat mengejar tuntutan perubahan. Pendidikan belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi atau masih sangat sedikit (too little). Bahkan pendidikan seringkali terlambat (too late) dalam mengadaptasi perubahan, sehingga pendidikan tertinggal dan belum mampu menjawab tantangan masa depan. Faktor penyebabnya adalah karena kebijakan yang ada disamping tambal sulam, juga dibuat secara tergesa-gesa. Bahkan pemerintah dinilai belum memiliki visi dan komitmen yang jelas tentang pendidikan.

Sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia baru dan sedang melakukan perubahan orientasi pendidikan dari pendidikan yang berbasis akademis kepada pendidikan yang berbasis kompetensi. Disinilah pokok bahasan tentang technopreneurship tersebut perlu dikembangkan. Memang tidak mudah untuk dilaksanakan, namun menjadi sebuah tantangan bagi kita untuk memajukan bangsa ini pada masa yang akan datang.
___________
Tata Sutabri S.Kom, MM -- Deputy Chairman of STMIK INTI INDONESIA, Pemerhati Dunia Pendidikan TI, Jl. Arjuna Utara No.35 – Duri Kepa Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510 Telp. 5654969, e-mail : tata.sutabri@inti.ac.id .

Sumber :
http://tatasutabri07.multiply.com/journal/item/4
19 April 2009

Sumber Gambar :
http://www.dpi.wa.gov.au/greentransport/images/alt_technology.jpg

Mendidik "Technopreneur"


Oleh Ninok Leksono

Misalkan saja Anda berusia 20-an tahun dan mengawali perusahaan
internet pertama Anda. Lalu katakan 21 bulan kemudian Anda menjualnya
seharga 1,65 miliar dollar AS. Apa yang terjadi berikutnya? ("Time",
'Persons of the Year', 2006-2007)

Kutipan di atas dari majalah Time tatkala mengisahkan situs YouTube
yang fenomenal dan pendirinya, Steve Chen, Chad Hurley, dan Jawed
Karim. Diperlihatkan pula bagaimana ketiga pemuda itu merancang konsep
awal YouTube di garasi Chad. YouTube kemudian sukses besar pada tahun
2006. Alasannya banyak, tetapi satu yang bisa disebut khusus adalah
karena ia unggul, tapi juga mudah, satu kombinasi yang langka. Anda
bisa menonton video di situs tersebut tanpa perlu mengunduh perangkat
lunak apa pun atau bahkan mendaftar. Di Amerika, YouTube untuk
menonton video diibaratkan sama dengan Wal-Mart Supercenter untuk
belanja. Semua ada di sana dan Anda tinggal masuk saja.

Ketika akhir tahun silam YouTube digelontor dengan 65.000 video baru
setiap harinya, jumlah video yang bisa ditonton pun menggelembung,
dari 10 juta per hari pada tahun sebelumnya, menjadi 100 juta.

Selain memperlihatkan bagaimana multiplikasi informasi terjadi,
fenomena tersebut juga membuat dunia menoleh kepada sosok-sosok
pendiri perusahaan. Lalu tampaklah bagaimana sosok Chad Meredith
Hurley yang berdarah seni ternyata juga punya minat besar terhadap
bisnis dan teknologi. Bagaimana keberhasilannya di PayPal
mempertemukan dirinya dengan Steve Chen dan Jawed Karim, dua insinyur
di PayPal, yang kemudian bersepakat dengan dirinya untuk mendirikan
perusahaan baru (start-up). Dalam perkembangan kemudian, memang ada
ketegangan dalam hubungan Karim (27) dengan kedua pendiri YouTube
lainnya. Ini membuat sejarah perusahaan itu lalu ikut disederhanakan,
dengan hanya disebutkan, ide pendirian YouTube muncul tahun 2005 saat
Chad dan Steve kesulitan berbagi video yang mereka ambil secara online
saat santap malam di apartemen Steve.

Apa pun yang terjadi di antara ketiga orang muda yang terkait dengan
YouTube di atas, yang jelas YouTube berkembang menjadi perusahaan
sukses yang kemudian dibeli raksasa Google, Oktober 2006 dengan nilai
1,65 miliar dollar AS.

Semestinya sukses YouTube, sebagaimana sukses Apple, Amazon, dan
deretan start-up lainnya mengilhami orang muda tidak saja di Amerika,
tetapi juga di belahan dunia lainnya. Namun, agar lingkungan menjadi
kondusif bagi munculnya apa yang dikenal sebagai wirausahawan
teknologi atau technopreneur ini rupanya dibutuhkan sejumlah syarat.

Ketika memberi kuliah perdana di Universitas Media Nusantara (UMN) di
Jakarta, 3 September lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad
Nuh menyebut salah satunya, yakni masa kritis. Menurut Menteri, di
Indonesia memang sudah ada banyak ahli ICT (teknologi informasi dan
komunikasi/TIK), tetapi jumlah itu dirasa belum mampu menimbulkan efek
yang terasakan.

Menteri Nuh mengibaratkan kondisi yang ada sekarang sebagai mobil di
tanjakan, tidak merosot tetapi juga tidak bisa naik.

Dari segi masa kritis, jumlah SDM TIK harus ditambah, dalam hal ini
melalui pendidikan. Dalam kondisi kesenjangan digital yang sudah akut
dewasa ini antara negara maju dan negara berkembang, jumlah lulusan
memang harus dipacu. Para lulusan juga harus bisa menjadi orang yang
mampu memengaruhi agar semakin banyak warga masyarakat yang melek TIK
dan bisa memanfaatkannya.

Pendidikan kewirausahaan

Pada kesempatan yang sama, pendiri UMN Dr (HC) Jakob Oetama kembali
mengulangi pentingnya pendidikan sebagaimana terkandung dalam semangat
culture matters yang akhir-akhir ini sering ia kemukakan. Menurut
hasil seminar Harvard yang kemudian dibukukan hasilnya, dan disunting
oleh Lawrence Harrison dan Samuel Huntington (2000), nilai budaya
berperan penting bagi kemajuan bangsa. Bangsa Korea (Selatan)
berkembang maju dibandingkan dengan Ghana meski keduanya berada dalam
kondisi serupa pada tahun 1960. Dalam pengantar buku, Huntington
menyebutkan, di Korea berkembang nilai-nilai budaya yang membuatnya
tumbuh maju dan di antara nilai-nilai tersebut adalah pendidikan,
selain disiplin, menghargai waktu, dan berorientasi kepada kemajuan.

Seperti disampaikan Menteri Nuh, pemerintah pun berkepentingan agar
pendidikan maju, masyarakat Indonesia maju. Ini antara lain coba
dilakukan dengan membangun dan meluaskan jaringan komunikasi dengan
Palapa Ring, yang tahun 2008 coba diwujudkan untuk wilayah Indonesia
timur. Melalui program Universal Service Obligation (USO), pemerintah
juga akan memperluas akses telekomunikasi bagi desa-desa di Indonesia
yang berjumlah 72.000, tetapi 38.000 di antaranya masih merupakan
blank spot.

Setelah ide disosialisasikan, prasarana dibangun, pendidikan
diselenggarakan, lalu bagaimana dengan munculnya technopreneur? Ini
tentu persoalan lain.

Pembicara lain pada kuliah perdana UMN, Indra Sosrojoyo, menyampaikan
peluang yang terbuka dalam industri TIK yang dapat dipilih mahasiswa.
Ia juga dengan tepat mengawali kuliah dengan bertanya, siapa yang
ingin menjadi technopreneur. Dalam jawaban pertama, mahasiswa yang
mengangkat tangan 25 persen, tetapi meningkat jadi sekitar 40 persen
saat ia mengulangi pertanyaannya.

Pekan silam, ketika menulis tentang Iskandar Alisjahbana, kolom ini
juga menyinggung pentingnya jiwa entrepreneurship. Dalam hal ini,
perguruan tinggi tidak cukup hanya menjadi penghasil gelar ningrat
akademis. Ia harus berhenti sebagai menara gading dan membuka peluang
bagi civitas academica-nya untuk menumbuhkan inkubator, seperti yang
dipercontohkan oleh MIT dan Stanford University di AS. Memang, tidak
sedikit tentangan yang muncul menanggapi gagasan ini, dari tahun
1970-an hingga hari ini. Namun, tampaknya, ada urgensi aktual bagi
pendekatan baru untuk lulusan universitas saat ekonomi masih lesu dan
lapangan kerja langka dewasa ini.

Dalam konteks culture matters yang diangkat oleh Jakob Oetama, melalui
praktik kewirausahaan dapat dikembangkan nilai-nilai budaya yang
dibutuhkan untuk mencapai kemajuan, seperti disiplin, ulet, dan
menghargai waktu.

Tepat pernyataan Menteri Nuh bahwa memiliki visi kemajuan penting.
Namun, yang lebih penting lagi adalah menjawab tantangan yang ada di
depan mata sekarang ini.

Sumber :
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/05/utama/3814398.htm
19 April 2009

Sumber Gambar:
http://www.crestock.com/images/530000-539999/536630-xs.jpg

Technopreneur Ciptakan Lapangan Kerja


SEMPITNYA lapangan kerja dewasa ini telah membuka arena kompetisi yang ketat bagi setiap angkatan kerja. Tidak jarang rasa sumpek dan pengap menyergap bagi calon tenaga kerja yang harus berdesak‑desakan untuk mendapatkan peluang dalam bursa‑bursa kerja, baik yang diadakan lembaga‑lembaga konsultan, departemen tenaga kerja maupun perguruan‑perguruan tinggi.
Coba bayangkan untuk lowongan 2 orang tenaga sekretaris dari sebuah perusahaan harus diperebutkan oleh sekitar 300 orang pelamar. Sementara itu, untuk 1 lowongan staf pemasaran harus diperebutkan sekitar 200 pelamar. Bahkan untuk lowongan 1 orang staf pengajar kursus komputer pun harus diperebutkan sekitar 50 orang pelamar. Persaingan yang sangat fantastis!
Beban yang dialami oleh para calon tenaga kerja tampak semakin penat ketika tuntutan kebutuhan sehari‑hari terus meningkat. Bekerja! Bekerja! Bekerja! Kata itu terus terngiang‑ngiang dalam lubuk hati setiap tenaga kerja. Tidak jarang rasa penat, tegang dan gentar untuk menyongsong hari esok datang menyergap, serta membawa depresi dan keputusasaan.
Meskipun situasi persaingan sedemikian ketatnya, keinginan untuk mencari kerja masih sangat tinggi. Para calon tenaga kerja tidak ragu‑ragu untuk membekali diri dengan bersekolah hingga ke tingkat perguruan tinggi, kursus keterampilan‑keterampilan tertentu, belajar bahasa Inggris atau Mandarin, mengikuti workshop‑workshop untuk mendalami tip‑tip dalam meraih lapangan kerja dan sukses karir. Bahkan, kalaupun sampai diminta untuk membayar sekalipun, mereka pun bersedia, asalkan mendapatkan pekerjaan.
Para tenaga kerja, bahkan lulusan perguruan tinggi sekalipun terus berupaya mencari lapangan kerja ke sana ke mari. Setiap kali sarjana baru diwisuda, langsung melegalisirkan minimal 10 lembar fotocopy ijazah untuk mengirimkan lamaran.
Mengapa para tenaga kerja tersebut terus berusaha mencari pekerjaan? Beberapa alasan berikut ini dikumpulkan dari hasil konsultasi atau curahan isi hati (curhat) dengan sejumlah orang dan peserta seminar enterpreneur yaitu: merasa tidak memiliki modal, pengalaman, relasi, belum mahir atau terampil, takut rugi, tidak dapat mengelola para karyawan, tidak memiliki jiwa atau minat bisnis, trauma terhadap kegagalan dan berasal dari lingkungan keluarga pekerja bukan pebisnis.
Menjadi technopreneur
Antrian mencari kerja sudah terlalu panjang, sedangkan kebutuhan harian tidak dapat dihentikan. Kini tiba saatnya untuk membuat keputusan dan bertindak untuk menciptakan lapangan kerja baru. Tinggalkan sekarang juga dari antrian mencari kerja! Percayalah pada rahmat penyelenggaraan Illahi dan kemampuan diri Anda. Segeralah merintis jalan menjadi seorang technopreneur yang sukses!
Apa itu technopreneur? Kalau kata enterpreneur sudah tidak asing bagi kebanyakan orang, sedangkan kata technopreneur tampak masih asing. Technopreneur secara sederhana dapat diartikan sebagai seorang peminat teknologi yang berjiwa enterpreneur. Tanpa jiwa enterpreneur, seorang peminat teknologi hanya menjadi teknisi dan kurang dapat menjadikan teknologi yang digelutinya sebagai sumber kehidupannya.
Bill Gates yang mengawali keberhasilannya di sebuah garasi rumahnya, Linus Trovaldi yang mengawali debutnya dengan menggulirkan software open source Linux, Onno W. Purbo dan Michael Sunggiardi yang menggulirkan gagasan‑gagasan tentang warung internet (warnet), internet RT/RW dan majalah Neotek tampaknya dapat dinobatkan sebagai sosok‑sosok yang dapat menjadi panutan dalam mengembangkan jiwa technopreneur.
Angka kelahiran technopreneur tampaknya kian meningkat dari hari ke hari. Jika datang ke pameran‑pameran dan presentasi teknologi informasi (TI), maka akan didapati presenter‑presenter yang masih muda, tetapi tampil visioner, futuristik, bersemangat, energik, penuh gagasan, dan piawai dalam mendemonstrasikan kemampuannya untuk mengoperasikan dan memanfaatkan TI dalam berbagai bidang.
Kelahiran para technopreneur itu banyak didasari dengan sejumlah latar belakang, antara lain: idealisme untuk menciptakan lapangan kerja baru, mengubah peran teknologi tidak hanya sebagai alat bantu saja, melainkan sebagai sumber bisnis, menggali potensi diri untuk hidup mandiri, memiliki kebebasan berkreasi dan pendapatan tidak terbatas.
Dasar untuk sukses
Menjadi sukses tentu juga menjadi impian bagi setiap technopreneur. Namun sukses bukanlah sulapan. Untuk meniti tangga kesuksesan, maka seorang technopreneur harus memperhatikan dan mengembangkan 8 dasar utama yang sudah ada dalam diri para technopreneur dengan penuh percaya diri dan optimis.
Delapan dasar utama tersebut adalah: visi, semangat dan mental pemenang, cara pandang futuristik, berpikir strategis, mengembangkan kurva pembelajaran, terampil berteknologi dan menajemen, kreatif dan berani memulai. Visi, semangat dan cara pandang futuristik merupakan dasar yang melahirkan daya gerak bagi seorang technopreneur untuk berkarya. Berpikir strategis, mengembangkan kurva pembelajaran, terampil berteknologi dan manajemen akan menjadikan karyanya dapat bertahan bahkan berkembang. Kreatif merupakan dasar untuk menciptakan keunikan dan daya saing. Sedangkan tanpa keberanian untuk memulai, maka technopreneur hanya akan menjadi pemimpi.
Kini saatnya para peminat teknologi, khususnya teknologi informasi (TI) untuk menjawab kebutuhan kerja dengan menjadikan teknologi yang digelutinya sebagai sumber kehidupannya, bahkan dapat menciptakan lapangan kerja.
Hal itu merupakan tantangan sekaligus peluang bagi peminat teknologi yang berjiwa enterpreneur. Apalagi di Indonesia masih banyak peluang yang belum digarap secara optimal, seperti pengembangan industri software dan hardware, sistem informasi dan web, jaringan komputer dan telekomunikasi. Belum lagi gagasan‑gagasan yang telah terlanjur digulirkan oleh para technopreneur, tetapi juga belum digarap banyak, seperti e‑Government, e‑Business, e‑Education dan e‑Journalist.***
Budi Sutedjo Dharma Oetomo SKom MM, Dosen Prodi TI dan SI UKDW Jogja

Sumber :
http://www.bernas.co.id/news/CyberNas/WACANA/3128.htm, 25 Januari 2006
18 April 2009

Sumber Gambar :
http://www.trecstep.com/images/sci1.jpg